macam macam jaringan pada hewan

modul diklat guru pembelajar ppkn,sma dan smk

MODUL DIKLAT GURU PEMBELAJAR PPKn SMP, SMA DAN SMK Posted by PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN on Sunday, September 4, 2016 MODUL GUR...

Thursday, February 2, 2017

PEMBENTUKAN KARAKTER SANGATLAH PENTING, kenapa harus penting,,? karena pembentukan karakter akan memilah atau membedakan manusia yang berkarakter dan yang tidak berkerakter. pembentukan KARAKTER sangat penting untuk bangsa kita 
Menurut Lickona pendidikan karakter menekan pada tiga komponen karakter yang baik, yaitu moral knowing, moral feeling, dan moral action. Yang diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan, dan mengerjakan nilai-nilai kebajikan, atau istilah lainnya adalah kognitif, afektif, dan psikomotorik. (Masnur Muslich, 2011: 75)
Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia, pembentukan adalah proses, cara, perbuatan atau usaha untuk membentuk (Daryanto SS, 1998:88). Berbicara masalah pembentukan karakter sama halnya berbicara tentang tujuan pendidikan, karena menurut berbagai pendapat tujuan pendidikan kita adalah sama halnya dengan pembentukan karakter. Pembentukan karakter dapat diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam rangka membentuk anak, dengan menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogram dengan baik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten. Pembentukan akhlak atau karakter ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa akhlak adalah hasil usaha pembinaan, bukan terjadi dengan sendirinya (Abuddin, 2009: 158).
Pembentukan watak atau karakter merupakan usaha untuk menanamkan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat isiadat (Zainal, 2012: 201).
Pembentukan karakter  bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pembentukan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi paham tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan nilai yang baik dan biasa melakukannya (Gunawan, 2012: 27).
Berdasarkan pembahasan diatas penulis sependapat dengan Zainal bahwa yang dimaksud dengan pembentukan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk menanamkan nilai-nilai perilaku peserta didik yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma agama-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat isti adat.
Terdapat beberapa unsur dimensi manusia ditinjau secara psikologis dan sosiologis dalam kaitannya dengan terbentuknya karakter manusia. Unsur-unsur itu antara lain: sikap, emosi, kepercayaan, kebiasaan dan kemauan, konsepsi diri (Fatchul, 2011: 167).
Menurut Abdul Majid, unsur pembentuk karakter manusia ada dua yaitu:
a.    Pikiran, merupakan unsur terpenting dalam pembentukan karakter, karena pikiran yang didalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidup. Jika program yang tertanam tersebut sesuai dengan prinsip kebenaran universal, maka perilakunya berjalan selaras dengan hukum alam.
b.    Kebiasaan, dari berbagai literatur ditemukan bahwa kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang yang didahului oleh kesadaran dan pemahaman akan menjadi karakter seseorang (Abdul Majid, 2012: 17).

B.     Tujuan dan Dasar Pembentukan Karakter
Pendidikan karakter yang dibangun dalam pendidikan mengacu pada Pasal 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab (Novan Ardy, 2013: 69).

Dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional, pendidikan karakter yang terintegrasi dalam sejumlah mata pelajaran yang relevan dan tatanan serta iklim kehidupan sosial-kultural dunia persekolahan secara umum bertujuan untuk memfasilitasi siswa agar mampu menggunakan pengetahuan, mengkaji, dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai, mengembangkan ketrampilan sosial yang memungkinkan untuk berkembangnya akhlak mulia dalam diri siswa serta mewujudkannya dalam perilaku sehari-hari, dalam berbagai konteks sosial budaya yang berbhineka sepanjang hayat (Nurul Zuriah, 2008: 64).
Tujuan pembentukan karakter yaitu membentuk dan membangun pola pikir, sikap, dan perilaku peserta didik agar menjadi pribadi yang positif, berakhlak karimah, berjiwa luhur, dan bertanggung jawab. Dalam konteks pendidikan, pendidikan karakter adalah usaha sadar yang dilakukan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi positif dan berakhlak karimah sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) sehingga dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Kemendiknas, tujuan pembentukan karakter adalah:
a.    Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warga negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa
b.    Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius
c.    Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa
d.   Mengembangkan kemampuan peserta didik untuk menjadi manusia yang mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan
e.    Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan (Zaenul, 2012: 24).

Tujuan pendidikan karakter adalah untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang. Melalui pendidikan karakter diharapkan dapat membentuk peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan meninteranalisasi, serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Pada tingkat institusi, pendidikan karakter mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah (Masnur Muslich, 2011: 81).
Tujuan pendidikan karakter sebagai usaha untuk membentuk siswa jika ditinjau dalam seting sekolah:
a.       Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian atau kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan.
b.      Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah.
c.       Membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secar bersama (Dharma Kesuma, 2012: 9)
Menurut Agus Zaenul Fitri pendidikan karakter adalah usaha aktif untuk membentuk kebiasaan sehingga sifat anak akan terukir sejak dini, agar dapat mengambil keputusan dengan baik dan bijak serta mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari (Agus Zaenul, 2012: 21)
Dapat dipahami bahwa tujuan dari pendidikan karakter adalah membentuk, menanamkan, memfasilitasi, dan mengembangkan nilai-nilai positif pada anak sehingga menjadi pribadi yang unggul dan bermartabat.
Sebagai pengaruh dari terlaksanaannya pendidikan karakter dapat disimpulkan dari beberapa penelitian menurut Muchlas Samani adalah:
a.    Perbaikan iklim sekolah termasuk iklim pembelajaran
b.    Para siswa dan staf menganggap sekolah sebagai tempat yang peduli, aman, dan cocok bagi anak
c.    Para siswa berperilaku lebih santun, pantas, dan proporsional
d.   Tindakan yang keliru dan tidak terpuji menurun
e.    Memotivasi akademik serta skor prestasi siswa naik signifikan
f.     Meningkatnya ketrampilan mereka dalam memecahkan masalah (Muchlas Samani, 2012: 17).

Lickona sebagaimana yang dikutip oleh Zainal Aqib menjelaskan bahwa apabila pendekatan kompeherensif diberikan kepada pendidikan karakter, maka budaya moral yang positif akan tercipta disekolah. Sekolah yang merupakan sebuah lingkungan yang mendukung penanaman nilai-nilai dikelas. Hal ini dapat diwujudkan melalui keteladanan kapala sekolah, disiplin, kepekaan, demokrasi, dan peluang untuk mengahargai kepedulian moral (Zainal Aqib, 2012:28). Dari pernyataan tersebut dapat diambil pengertian bahwa pendidikan karakter dapat berpengaruh terhadap penciptaan kondisi budaya sekolah yang positif akibat dari kepala sekolah dan warga sekolah yang mendukung akan terlaksanaannya pembentukan karakter.
Manusia pada dasarnya memiliki dua potensi yaitu baik dan buruk. Di dalam Al-Quran surah Al-Syams dijelaskan dengan istilah Fujur dan takwa. Keberuntungan berpihak pada orang yang senantiasa menyucikan dirinya dan kerugian berpihak pada orang yang mengotori dirinya, sebagaiman firman Allah dalam surah Al-Syams ayat 8 berikut ini:
ÇÑÈ$yg1uqø)s?ur$yduqègéú$ygyJolù;r'sù
“Maka Dia menghilmakan kepada jiwa itu (jalan) kejahatan dan ketakwaannya,”(Ahmad Hatta, 2011: 595)

Menurut Tafsir Al Misbah, fa alhamaha terambil dari kata al-lahm yakni menelan sekaligus sehingga lahir kata ilham. Memang ilham atau instuisi datang secara tiba-tiba tanpa disertai analisa sebelumnya. Lebih lanjut Sayid Quthub menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk dwi dimensi dalam tabiatnya. Manusia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dia mampu mengarahkan dirinya menuju kebaikan atau keburukan dalam kesadaran yang sama. Potensi tersebut terdapat dalam diri manusia kehadiran Rasul, petunujuk-petunjuk, serta faktor ekstern lainnya hanya berfungsi membangkitkan, mendorong, dan mengarahkan, itu semua tidak menciptakannya karena ia telah melekat sebagi tabiat dan masuk kedalam melalui pengilhaman Illahi (Quraish, 2003: 297).
ôzþÇ5çŸtÇÎÈû,Î#Ïÿ»y@xÿór&m»tR÷ŠyŠuOèOÇÍÈ¢OƒÈqø)s?`|¡ômr&Îû`»|¡SM}$#$uZø)n=y{s)s9
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,  kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya”,(Ahmad Hatta, 2011: 597).
Berdasarkan surat Al-Tin ayat 4-5 diatas dijelaskan sesungguhnya telah kami ciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik. Manusia diistimewakan dengan akalnya agar bisa berpikir dan menimba berbagai ilmu pengetahuan serta bisa mewujudkan segala inspirasinya yang dengannya manusia bisa berkuasa atas segala makhluk. Manusia memiliki kekuatan dan pengaruh yang dengan keduanya bisa menjangkau segala sesuatu (Ahmad Mustafa, 1993: 341).
Dalam teori lama yang dikembangkan oleh dunia barat, disebutkan bahwa perkembangan seseorang hanya dipengaruhi oleh pembawaan (nativisme). Sebagai lawannya, berkembang pula teori yang berpendapat bahwa seseorang hanya ditentukan oleh pengaruh lingkungan (empirisme). Sebagai sinsetisisnya, kemudian dikembangkan teori ketiga yang berpendapat bahwa perkembangan seseorang ditentukan oleh pembawaan dan lingkungan atau konvergensi (Agus Zaenul, 2012: 36).

Dapat difahami bahwa manusia banyak mempunyai kecenderungan yang disebabkan oleh banyak potensi yang dibawanya. Dalam garis besarnya, kecenderungan itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu kecenderungan menjadi orang baik dan kecenderungan menjadi orang jahat. Oleh sebab itu, pembentukan karakter harus dapat memfasilitasi dan mengembangkan nilai-nilai positif agar secara alamiah dapat membentuk seseorang menjadi pribadi yang unggul dan barakhlak mulia.

C.      Tahap-Tahap Pembentukan Karakter
Perkembangan moral atau karakter merupakan proses dinamis yang umum dalam setiap budaya. Moral berkembang menurut serangkaian tahap perkembengan psikologis. Perkembangan moral itu bertahap artinya kedewasaan moral seseorang hanya dapat meningkat satu tahap lebih tinggi diatasnya. Pembentukan karakter diyakini perlu dan penting untuk dilakukan oleh sekolah dan warganya untuk menjadi pijakan dalam penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah.
Membentuk karakter pada diri siswa memerlukan suatu tahapan yang disusun secara sistematis dan berkelanjutan. Siswa akan melihat dan meniru apa yang ada di sekitaranya, siswa apabila akan melakukan sesuatu (baik atau buruk), selalu diawali dengan proses melihat, mengamati, meniru, mengingat, menyimpan, kemudian mengeluarkannya kembali menjadi perilaku sesuai dengan ingatan yang tersimpan di dalam otaknya. Oleh karena itu, untuk membentuk karakter siswa harus dirancang dan diusahakan penciptaan lingkungan kelas dan sekolah yang mendukung program pendidikan karakter (Agus Zaenul, 2012: 58).
Karakter dibentuk melalui tahap pengetahuan, pelaksanaan, dan kebiasaan. Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter yang baik yaitu:
1.    Pengetahuan Moral, dimensi-dimensi yang termasuk dalam pengetahuan moral adalah:
a.    Kesadaran Moral, untuk membentuk warga negara yang bertanggungjawab harus ada upaya membuat mereka terinformasi. Pendidikan nilai dapat melakukan tugas ini dengan mengerjakan siswa cara memastikan fakta terlebih dahulu sebelum membuat sebuah timbangan moral.
b.    Mengetahui Nilai Moral, hal ini berarti memahami bagaimana menerapkannya dalam berbagai situasi, nilai yang baik menjadi faktor penentu dalam membentuk pribadi yang baik.
c.    Pengambilan Prespektif, adalah kemampuan untuk mengambil sudut pandang orang lain, melihat situasi dari sudut pandang orang lain, membayangkan bagaimana mereka akan berfikir, berinteraksi dan merasa. Pengembilan prespektif dapat membantu siswa untuk merasakan dunia dari sudut pandang orang lain.
d.   Penalaran moral, adalah memahami makna sebagai orang yang bermoral dan mengapa kita harus bermoral.
e.    Membuat Keputusan, adalah proses orang menjadi memliki putusan saat orang tersebut menghadapi masalah atau dilema moral.
f.     Memahami diri sendiri, yaitu sadar terhadap kekuatan dan kelemahan karakter dan mengetahui cara untuk memperbaiki kelemahan tersebut.
2.    Perasaan Moral, dimensi-dimensi yang termasuk dalam perasaan moral adalah:
a.    Hati Nurani, hati nurani yang matang juga mencakup kapasitas untuk memiliki rasa bersalah kontruksif artinya ketika hati nurani anda berkata wajib untuk mengambil sikap tertentu maka jika tidak melakukannya anda merasa bersalah.
b.    Penghargaan Diri, artinya orang yang mempunyai penghargaan sehat maka akan menghormati diri sendiri, orang yang menghormati diri sendiri maka akan menghargai diri sendiri. Dengan demikian orang yang menghargai diri sendiri kecil kemungkinan bagi dirinya untuk merusak tubuh atau pikiran kita atau bahkan membiarkan orang lain untuk merusaknya.
c.    Empati, adalah kemampuan mengenali dan merasakan keadaan yang tengah dialami orang lain. Merupakan sisi emosi dari pengambilan presprektif.
d.   Mencintai Kebaikan, merupakan bentuk karakter yang tertinggi, yaitu ketertarikan murni yang tidak dibuat-buat pada kebaikan.
e.    Kontrol Diri, emosi dapat menghanyutkan akal itulah mengapa kontrol diri merupakan bentuk pekerti moral yang penting.
f.     Kerendahan Hati, merupakan bagian dari pemahaman diri yaitu sutau bentuk keterbukaan murni terhadap kebenaran sekaligus kehendak untuk berbuat sesuatu demi memperbaiki kegagalan kita.
3.    Tindakan Moral, dimensi-dimensi yang termasuk dalam tindakan moral adalah:
a.    Kompetensi, adalah kemampuan mengubah pertimbangan dan perasaan moral kedalam tindakan moral yang efektif.
b.    Kehendak, adalah menjaga emosi agar tetap terkendali oleh akal.  Hal ini berguna agar dapat melihat dan memikirkan sesuatu keadaan melalui seluruh dimensi moral, untuk menahan godaan, bertahan dari tekanan, dan melawan gelombang. Kehendak merupakan inti dari kebenarian moral.
c.    Kebiasaan, merupakan faktor penentu pembentuk moral. Orang yang memiliki karakter baik bertindak sungguh-sungguh, loyal, berani, berbudi, dan adil tanpa tergoda oleh hal-hal sebaliknya. Mereka akan melakukan hal yang benar karena kebiasaan (Lickona, 2013: 72).
Dalam pandangan Islam, tahapan pembentukan karakter dimulai sejak sedini mungkin, yaitu dengan tahap-tahap pendidikan karakter yang disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Tahap-tahap pembentukan karakter beserta pendidikan karakter pada anak dalam pandangan Islam adalah sebagai berikut:
1.    Tauhid (0-2 tahun)
Nabi memerintahkan untuk mengajarkan kalimat la ilaha illallah kepada setiap anak yang baru bisa mengucapkan kata-kata sebanyak tujuh kali, sehingga kalimat tauhid ini menjadi ucapan mereka yang pertama kali dikenalkannya.
2.    Adab (5-6 tahun)
Pada fase ini siswa diajarkan nilai-nilai karakter tentang adab tentang: jujur, mengenal mana yang benar atau salah, mengenal yang baik atau buruk, mengenal mana yang diperintah atau yang dilarang.
3.    Tanggung jawab (7-8 tahun)
Perintah agar anak usia tujuh tahun dimulai menjalankan shalat menunjukan bahwa anak mulai dididik untuk bertanggung jawab. Anak dimulai diminta untuk membina dirinya sendiri, memenuhi kebutuhan, kewajiban diri sendiri.
4.    Peduli (9-10 tahun)
Pada fase ini anak diajarkan tentang nilai karakter yang meliputi menghargai orang lain, menghormati orang lain, bekerjasama, tolong menolong dan saling membantu.
5.    Kemandirian (11-12 tahun)
Mandiri ditandai dalam kesiapan dalam menerima resiko sebagai konsekuensi tidak menaati aturan. Anak telah mampu menerapkan terhadap hal-hal yang menjadi perintah atau yang menjadi larangan.
6.    Bermasyarakat (13 tahun keatas)
Anak telah siap bergaul dimasyarakat dengan berbekal pengalaman yang dilalui sebelumnya, anak akan mampu melakukan beradaptasi dengan masyarakat (Abdul Majid, 2012: 23).
Pada tingkatan SMK dalam perkembangannya anak memasuki masa ramaja. Remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung terhadap orangtua ke arah kemandirian. Dalam perspektif belajar sosial menurut Albery Bandura sebagaiman yang dikutip oleh Syamsu Yusuf berpendapat bahwa proses kognitif yang mengantarai perubahan tingkah laku dipengaruhi oleh pengalaman yang mengarahkan untuk mentutaskan ketrampilan atau tugas-tugas (Syamsu Yusuf, 2011:189).

D.      Nilai Pembentuk Karakter
Kemendiknas menjelaskan bahwa nilai karakter yang dikembangkan berdasarkan nilai agama, norma sosial, hukum, etika akademik, dan prinsip-prinsip HAM.Kemendiknas telah meluncurkan 18 nilai karakter, 18 nilai karakter telah disesuaikan dengan kaidah-kaidah ilmu pendidikan secara umum, sehingga lebih implementatif untuk diterapkan dalam pendidikan secara umum, nilai 18 tersebut telah dirumuskan dalam standar kompetensi dan indikator pencapaian disemua mata pelajaran. Nilai 18 karakter yang sudah disusun oleh Kemendiknas meliputi:
1.    Religius, yakni ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama yang dianut, termasuk dalam hal ini adalah sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dan berdampingan.
2.    Jujur, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan kesatuan antara pengetahuan, perkataan, dan perbuatan yang benar, mengatakan yang benar dan melakukan yang benar sehingga menjadikan orang yang bersangkutan sebagai pribadi yang dapat dipercaya.
3.    Toleransi, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan terhadap perbedaan agama, aliran kepercayaan, suku, adat, bahasa, ras, etnis, pendapat, dan hal-hal lain yang berbeda dengan dirinya secara sadar dan terbuka, serta dapat hidup tenang di tengah perbedaan tersebut.
4.    Disiplin, yakni kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala bentuk peraturan atau tata tertib yang berlaku.
5.    Kerja keras, yakni perilaku yang menunjukan upaya secara sungguh-sungguh dalam menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan, pekerjaan, dan lain-lain dengan sebaik-baiknya.
6.    Mandiri, yakni sikap dan perilaku yang tidak tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan berbagai tugas maupun persoalan. Namun hal ini bukan berati tidak boleh kerja sama secara kolaboratif, melainkan tidak boleh melemparkan tugas dan tanggung jawab kepada orang lain.
7.    Kreatif, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi dalam berbagai segi dalam memecahkan masalah, sehingga selalu menemukan cara-car baru, bahkan hasil-hasil baru yang lebih baik dari sebelumnya.
8.    Demokratis, yakni sikap dan cara berpikir yang mencerminkan persamaan hak dan kewajiban secara adil dan merata antara dirinya dengan orang lain.
9.    Rasa ingin tahu, yakni cara berpikir, sikap, dan perilaku yang mencerminkan penasaran dan keingintahuan terhadap segala hal yang dilihat, didengar, dan dipelajari secara lebih mendalam.
10.     Semangat kebangsaan atau nasionalisme, yakni sikap dan tindakan yang menempatkan kepentingan  bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau individu dan golongan.
11.     Cinta tanah air, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa bangga, setia, peduli, dan penghargaan, yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya, sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain yang dapat merugikan bangsa sendiri.
12.     Mengahargai prestasi, yakni sikap terbuka terhadap prestasi orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi semangat berprestasi yang lebih tinggi.
13.     Komunikatif, yakni senang bersahabat atau proaktif, sikap dan tindakan terbuka terhadap orang lain melalui komunikasi yang santun sehingga tercipta kerja sama secara kolaboratif dengan baik.
14.     Cinta damai, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan suasana damai, aman, tenang, dan nyaman atas kehadiran dirinya dalam komunitas atau masyarakat tertentu.
15.     Gemar membaca, yakni kebiasaan dengan tanpa paksaan untuk menyediakan waktu secara khusus guna membaca berbagai informasi
16.     Peduli lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar.
17.     Peduli sosial, yakni sikap dan perbuatan yang mencerminkan kepedulian terhadap orang lain maupun masyarakat yang membutuhkannya.
18.     Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, baik yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial, masyarakat, bangsa, negara maupun agama (Suyadi, 2013: 8).
Prinsip pembelajaran yang digunakan di sekolah adalah mengusahakan agar siswa mengenal dan menerima nilai-nilai karakter sebagai milik mereka, dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menentukan pendidikan, dan selanjutnya menjadikan satu nilai sesuai dengan keyakinan diri. Dengan prinsip tersebut siswa belajar melalui proses berpikir, bersikap, dan berbuat. Kemendiknas menjelaskan bahwa prinsip dalam pembentukan karakter adalah sebagai berikut:
1.    Berkelanjutan, artinya proses pengembangan nilai-nilai karakter merupakan proses yang panjang dari awal siswa sampai selesai dari satuan pendidikan
2.    Melalui semua mata pelajaran dan pengembangan diri. Artinya proses pengembangan nilai-nilai karakter dilakukan melalui setiap mata pelajaran dan kegiatan ekstrakurikuler
3.    Nilai tidak diajarkan tetapi dikembangkan. Yang perlu diperhatikan adalah aktivitas belajar dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik
4.    Proses pembelajaran dilakukan dengan penekanan agar siswa secara aktif dan menyenangkan. Artinya setiap proses pembelajaran siswa dituntut untuk aktif dan menimbulkan rasa senang. (Gunawan, 2012: 36).

E.     Metode Pembentukan Karakter
Metode adalah cara-cara untuk menyampaikan materi pendidikan oleh guru kepada siswa, disampaikan dengan efektif dan efisien, untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditentukan. Metode ini berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan (Heri Gunawan, 2012:88). Metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplememtasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa metode pembelajaran diantaranya: ceramah, demonstrasi, diskusi, simulasi, laboratorium, pengalaman lapangan, brainstroming, debat, dan simposium ( Zubaedi, 2011: 188)
Menurut Superka sebagaimana yang dikutip oleh Sutarjo menunjuk berbagai pendekatan dan metode dalam pendidikan karakter yaitu sebagai berikut:
1.    Pendekatan dan Metode Penanaman Nilai, adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai dalam diri siswa. Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah: keteladanan, simulasi, bermain peran.
2.    Pendekatan dan Metode perkembangan kognitif, disebut sebagai pendekatan kognitif karena karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan pada aspek perkembangannya. Metode yang digunakan adalah dengan diskusi kelompok.
3.    Pendekatan dan Metode Argumentasi Moral, pendekatan ini memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berfikir logis dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan mencari alasan pembenaran secara moral.
4.    Memoralisasi, yaitu model pendidikan karakter secara langsung dengan mengajarkan sejumlah nilai yang harus menjadi pegangan siswa. Metode yang digunakan dengan: pemberian nasihat dan larangan, khotbah, pidato, dan ceramah.
5.    Bersikap Membiarkan, adalah metode dengan cara membiarkan siswa menentukan sendiri apa yang diinginkan, anak dibiarkan tumbuh dan berkembang secara alamiah.
6.    Menjadi Model, yaitu guru berusaha menampilkan dirinya sebagai model atau contoh yang hidup menurut karakter tertentu.
7.    Pendekatan dan Metode Teknik Klarifikasi Nilai, yaitu pendekatan  karakter dimana siswa dilatih untuk menemukan, memilih, menganalisis, mengambil sikap sendiri nilai hidup yang diperjuangkan. Metode yang digunakan adalah metode dialog, diskusi kelompok, studi kasus atau problem solving (Sutarjo, 2013: 134).
Metode pendidikan menurut Abdurrahman An-Nahlawi sebagaimana dikutip oleh Heri Gunawan yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pembentukan karakter kepada siswa adalah sebagai berikut:
1.    Metode Hiwar Percakapan, adalah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih melalui tanya jawab mengenai satu topik, dan dengan sengaja diarahkan kapada satu tujuan yang dikehendaki. Metode ini mempunyai dampak yang sangat mendalam terhadap jiwa pendengar yang mengikuti percakapan dengan seksama dengan penuh perhatian.
2.    Metode Qishah atau Cerita, dalam pelaksanaan pendidikan karakter disekolah, kisah sebagai metode pendukung pelaksanaan pendidikan memiliki peranan yang sangat penting, karena dalam kisah-kisah terdapat keteladanan atau edukasi.
3.    Metode Amtsal atau Perumpamaan, cara penggunaan metode ini yaitu dengan ceramah atau membaca teks.
4.    Metode Uswah atau Keteladanan, keteladanan merupakan metode yang lebih efektif dan efisien, karena siswa pada umumnya cenderung meniru gurunya.
5.    Metode Pembiasaan, adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara berulang-ulang agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Metode pembiasaan berintikan pengalaman karena yang dibiasakan itu adalah sesuatu yang diamalkan.
6.    Metode ‘Ibrah atau Mau’idah, ‘ibrah berarti suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, dihadapi dengan nalar dan menyebabkan hati mengakuinya. Mau’idah ialah naishat yang lembut yang diterima oleh hati dengan cara menjelaskan pahala atau ancaman.
7.    Metode Targhib dan Tarhib atau Janji dan Ancaman, Targhib adalah janji terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat yang disertai dengan bujukan.  Sedangkan Tarhib adalah ancaman karena dosa yang dilakukan. Metode ini bertujuan agar orang mematuhi peraturan Allah (Heri Gunawan, 2012: 88).
Paul Suparno menjelaskan model dan metode dalam pendidikan karakter dapat dilakukan dengan:
1.    Cara penyampaian dalam pendidikan karakter dapat dilakukan dengan beberapa model antar lain: model sebagai mata pelajaran tersendiri, model terintegrasi dalam semua bidang studi, model diluar pengajaran, model gabungan.
2.    Metode Penyampaian dalam pembentukan Karakter dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode antara lain sebagai berikut:
a.    Metode Demokrasi, dalam hal ini guru bersifat sebagai fasilitator, metode ini akan menyebabakan anak berani menungkapkan gagasan, pendapat, maupun perasaan. Nilai-nilainya antara lain: keterbukaan, kejujuran, penghargaan pada pendapat orang lain, sportivitas, kerendahan hati, dan toleransi.
b.    Metode Pencarian Bersama, metode ini menekankan pencarian bersama yang melibatkan siswa dan guru. Pencarian bersama ini lebih menekankan  diskusi atas soal-soal yang aktual dalam masyarakat.
c.    Metode Siswa Aktif, yaitu menekankan pada proses yang melibatkan anak sejak awal pembelajaran. Guru memberikan pokok bahasan dan anak dalam kelompok mencari dan mengembangkan proses selanjutnya. Mendorong untuk mempunyai kreativitas, ketelitian, kecintaan terhadap imu pengetahuan, kerjasama, kejujuran, dan daya ingat.
d.   Metode Keteladanan, proses pembentukan karakter pada anak akan dimulai dengan melihat orang yang akan diteladani. Guru dapat menjadi tokoh idola dan panutan bagi anak. Dituntut adanya ketulusan, keteguhan, kekonsistenan hiduo seorang guru.
e.    Metode Live In, metode live in memberi pengalaman kepada anak untuk mempunyai pengalaman hidup bersama orang lain langsung dalam situasi yang berbeda sama sekali dari kehidupan sehari-hari. Kegiatan ini terjadi secara periodik, siswa perlu mendapat bimbingan untuk merefleksi pengalaman dengan baik secara rasional intelektual maupun segi batin dan rohaninya.
f.     Metode Penjernihan Nilai, latar belakang sosial, latar belakang kehidupan, dan pengalaman dapat membawa perbedaan pemahaman dan penerapan nilai-nilai hidup. Oleh karena itu dibutuhkan adanya penjernihan nilai dengan dialog afektif dalam bentuk sharing ataupun diskusi yang mendalam dan intensif (Paul Suparno, 2002: 42-51).
Selanjutnya menurut Lickona sebagaimana yang dikutip oleh Muchlas Samani, menyarankan bahwa:
“Agar pendidikan karakter berlangsung efektif, maka guru dapat mengusahakan berbagai metode seperti: metode bercerita, menugasi siswa membaca buku literatur, melaksanakan studi kasus, bermain peran, debat, kooperatif” (Muchlas Samani, 2012: 147).

Dalam pendidikan karakter perspektif Islam, Abdul Majid menawarkan metode dengan model Tadzkirah (dibaca Tadzkiroh). Tadzkirah mempunyai makna yaitu:
1.                                          T: tunjukan teladan
2.                                          A: arahkan atau berikan bimbingan
3.                                          D: dorongan dengan berikan motivasi
4.                                          Z: zakiyah yaitu bersih dengan tanamkan hati yang tulus
5.                                          K: kontinuitas yaitu pembiasaan untuk belajar, berbuat, bersikap
6.                                          I : ingatkan jika berbuat kesalahan
7.                                          R: repitisi atau pengulangan
8.                                          A: (O) yaitu organisasikan
9.                                          H: hati, sentuhlah dengan hati (Abdul Majid, 2012: 116).

Dari beberapa metode diatas penulis menyimpulkan bahwa metode yang sering digunakan dalam pembentukan karakter siswa adalah dengan keteladanan. Dimana seorang guru harus menjadi contoh yang baik bagi para siswa. Proses pembentukan karakter pada siswa akan dimulai dengan melihat orang yang akan diteladani.

F.       Usaha-Usaha Pembentukan Karakter
1.    Integrasi Pendidikan Karakter dalam Proses Pembelajaran
Yang dimaksud dengan implementasi pendidikan karakter secara terintegrasi kedalam proses pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran yang berlangsung baik didalam kelas maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran (Novan Ardy, 2013: 90). Pengintegrasian tersebut dapat dilakukan dengan:

a.    Guru mengembangkan dan menyisipkan pendidikan karakter pada materi pelajaran yang sesuai dengan konteks, dapat menggunakan silabus  dan RPP berkarakter.
b.    Pembelajaran berbasis kearifan lokal sebagai alternatif solusi dalam integrasi pada proses pembelajaran. Nilai karakter kearifan lokal memiliki peran strategis dalam pembentukan karakter dan identitas bangsa. Kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pembentukan jati diri.
2.    Pengembangan Budaya Sekolah Berbasis Karakter
Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah tempat berinteraksi peserta didik dengan sesamanya. Budaya sekolah memiliki cakupan yang sangat luas, antara lain mencakup kegiatan ritual, harapan, hubungan sosial-kultural, kegiatan kurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, maupun interaksi sosial antarkomponen. Pengembangan budaya sekolah yang berorientasi pada pembentukan karakter dapat dilakukan dengan adanya kegiatan: kegiatan rutin, kegiatan spontan, keteladanan, dan pengondisian terhadap proses pembentukan karakter.(Novan Ardy, 2013: 99).
Terdapat enam unsur budaya moral positif disekolah yaitu:
a.    Kepemimpinan moral dan akademis dari kepala sekolah
b.   Disiplin dalam seluruh lingkungan sekolah yang memberi teladan, mendorong, dan menjunjung tinggi nilai di seluruh lingkungan sekolah
c.    Kesadaran komunitas di seluruh lingkungan sekolah
d.   Organisasi siswa yang melibatkan para siswa dalam mengurus diri sendiri dan menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk menjadikan sebagai sekolah terbaik
e.    Sebuah atsmosfer moral yang didalamnya terdapat sikap saling menghormati, keadilan, da kerjasama yang meresap kedalam semua bentuk hubungan di sekolah
f.    Menjunjung tinggi arti penting moralitas dengan memberi waktu khusus untuk menangani urusan moral (Lickona, 2013: 415).

3.    Usaha Pembentukan Karakter melalui Kegiatan Ekstrakurikuler
“Kegiatan ekstrakurikuler merupakan kegiatan pendidikan yang tercangkup dalam kurikulum yang dilaksanakan di luar mata pelajaran untuk mengembangkan bakat, minat, kreativitas, dan karakter peserta didik di sekolah” (Novan Ardy, 2013: 110).

Lebih lanjut Novan Ardy menjelaskan bahwa manfaat ekstrakurikuler dapat menekan angka kriminalitas dan menekan angka pelanggaran norma, serta menambah pengalaman, teman, dan ketrampilan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kegiatan ekstrakurikuler mempunyai kontribusi dalam pembentukan karakter siswa.
4.    Usaha Pembentukan Karakter Melalui Sosialisasi dalam Organisasi
Salah satu potensi yang menjadi aset generasi muda adalah potensi kepemimpinan. Oleh karena itu perlu direkayasa kondisi pendidikan yang memberikan peluang berupa tugas, tantangan, persoalan, dan situasi yang dapat mengaktualisasikan potensi kepemimpinan dan perilaku berorganisasi siswa. Dapat dilakukan dengan memberikan penciptaan kesempatan yang luas untuk dapat berlatih kepemimpinan dan organisasi, hal ini dianggap penting karena akan terjadi interaksi efektif antar siswa (Deni Damayanti, 2014: 65).
5.    Usaha Pembentukan Karakter Melalui Kreativitas Siswa
Kreativitas merupakan ranah psikologis yang cukup kompleks dan multidimensi. Lingkungan merupakan basis pertama yang banyak mempengaruhi terhadap kreativitas anak. Pola pendidikan yang berpengaruh terhadap kreativitas siswa adalah dengan: tegas yaitu dalam mengarahkan dan memberi contoh yang baik kepada siswa, demokrasi yaitu dengan cara musyawarah dan berdiskusi, preventif dan permisif yaitu berkaitan dengan bakat atau potensi kecerdasan anak dalam hal ini orangtua hanya mengontrol bakat anak sehingga terbangun sikap kreativitas dalam hidup yang penuh dinamika (Anas Salahudin, 2013: 297).
6.    Kartu Mutabaah (Monitoring) sebagai Usaha Pembentukan Karakter
Dengan kartu Mutabaah dapat bermanfaat untuk meningkatkan diri, memotivasi niat, untuk menanamkan pembiasaan kepada siswa dalam memelihara, menumbuhkan keimanan. Melalui kartu ini, minimal guru dapat memonitoring aktivitas siswa dalam kehidupan sehari-hari dengan bantuan wali murid, teman, dan masyarakat sekitar (Abdul Majid, 2012: 206).


7.    Pembentukan Karakter melalui Peningkatan Budaya Baca Tulis
Membaca dan menulis adalah kegiatan yang berhubungan dengan transfer pengetahuan, pengkhayatan kosakata sebagai pintu masuk untuk menjelaskan dunia. Semakin siswa banyak membaca, mereka akan mengetahui dunia kehidupan, tahu asal usul sejarah, dan itu akan membentuk karakter mereka. Karakter individu dibentuk saat orang melakukan tindakan membaca karena kegiatan itu memungkinkan banyak jalan untuk melihat diri sendiri dari membayangkan dunia yang dikisahkan dalam tulisan yang dibaca (Fatchul, 2011: 328)