PEMBENTUKAN KARAKTER SANGATLAH PENTING, kenapa harus penting,,? karena pembentukan karakter akan memilah atau membedakan manusia yang berkarakter dan yang tidak berkerakter. pembentukan KARAKTER sangat penting untuk bangsa kita
Menurut Lickona pendidikan karakter
menekan pada tiga komponen karakter yang baik, yaitu moral knowing, moral
feeling, dan moral action. Yang diperlukan agar anak mampu memahami,
merasakan, dan mengerjakan nilai-nilai kebajikan, atau istilah lainnya adalah
kognitif, afektif, dan psikomotorik. (Masnur Muslich, 2011: 75)
Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia,
pembentukan adalah proses, cara, perbuatan atau usaha untuk membentuk (Daryanto
SS, 1998:88). Berbicara masalah pembentukan karakter sama halnya berbicara
tentang tujuan pendidikan, karena menurut berbagai pendapat tujuan pendidikan
kita adalah sama halnya dengan pembentukan karakter. Pembentukan karakter dapat
diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam rangka membentuk anak, dengan
menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogram dengan baik dan
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten. Pembentukan akhlak atau karakter
ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa akhlak adalah hasil usaha pembinaan,
bukan terjadi dengan sendirinya (Abuddin, 2009: 158).
Pembentukan watak atau karakter
merupakan usaha untuk menanamkan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat
isiadat (Zainal, 2012: 201).
Pembentukan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan
mana yang salah, lebih dari itu, pembentukan karakter menanamkan kebiasaan
tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi paham tentang mana yang
benar dan salah, mampu merasakan nilai yang baik dan biasa melakukannya
(Gunawan, 2012: 27).
Berdasarkan pembahasan diatas penulis
sependapat dengan Zainal bahwa yang dimaksud dengan pembentukan karakter
merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk
menanamkan nilai-nilai perilaku peserta didik yang berhubungan dengan Tuhan
Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang
terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma agama-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat isti adat.
Terdapat beberapa unsur dimensi manusia
ditinjau secara psikologis dan sosiologis dalam kaitannya dengan terbentuknya
karakter manusia. Unsur-unsur itu antara lain: sikap, emosi, kepercayaan,
kebiasaan dan kemauan, konsepsi diri (Fatchul, 2011: 167).
Menurut Abdul Majid, unsur pembentuk
karakter manusia ada dua yaitu:
a.
Pikiran,
merupakan unsur terpenting dalam pembentukan karakter, karena pikiran yang
didalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidup. Jika
program yang tertanam tersebut sesuai dengan prinsip kebenaran universal, maka
perilakunya berjalan selaras dengan hukum alam.
b.
Kebiasaan, dari
berbagai literatur ditemukan bahwa kebiasaan yang dilakukan secara
berulang-ulang yang didahului oleh kesadaran dan pemahaman akan menjadi
karakter seseorang (Abdul Majid, 2012: 17).
B. Tujuan dan
Dasar Pembentukan Karakter
Pendidikan karakter yang dibangun dalam
pendidikan mengacu pada Pasal 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor
20 Tahun 2003, bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta
bertanggung jawab (Novan Ardy, 2013: 69).
Dalam rangka mewujudkan tujuan
pendidikan nasional, pendidikan karakter yang terintegrasi dalam sejumlah mata
pelajaran yang relevan dan tatanan serta iklim kehidupan sosial-kultural dunia
persekolahan secara umum bertujuan untuk memfasilitasi siswa agar mampu
menggunakan pengetahuan, mengkaji, dan menginternalisasi serta mempersonalisasi
nilai, mengembangkan ketrampilan sosial yang memungkinkan untuk berkembangnya
akhlak mulia dalam diri siswa serta mewujudkannya dalam perilaku sehari-hari,
dalam berbagai konteks sosial budaya yang berbhineka sepanjang hayat (Nurul
Zuriah, 2008: 64).
Tujuan pembentukan karakter yaitu
membentuk dan membangun pola pikir, sikap, dan perilaku peserta didik agar
menjadi pribadi yang positif, berakhlak karimah, berjiwa luhur, dan bertanggung
jawab. Dalam konteks pendidikan, pendidikan karakter adalah usaha sadar yang
dilakukan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi positif dan berakhlak
karimah sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) sehingga dapat
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Kemendiknas, tujuan pembentukan karakter adalah:
a. Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia
dan warga negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa
b. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan
dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius
c. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai
generasi penerus bangsa
d. Mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk menjadi manusia yang mandiri, kreatif, dan
berwawasan kebangsaan
e. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang
aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan (Zaenul, 2012: 24).
Tujuan pendidikan karakter adalah untuk
meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada
pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh,
terpadu, dan seimbang. Melalui pendidikan karakter diharapkan dapat membentuk
peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya,
mengkaji dan meninteranalisasi, serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan
akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Pada tingkat
institusi, pendidikan karakter mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu
nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan
simbol-simbol yang dipraktikan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar
sekolah (Masnur Muslich, 2011: 81).
Tujuan pendidikan karakter sebagai
usaha untuk membentuk siswa jika ditinjau dalam seting sekolah:
a.
Menguatkan dan
mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga
menjadi kepribadian atau kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana
nilai-nilai yang dikembangkan.
b.
Mengoreksi
perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang
dikembangkan oleh sekolah.
c.
Membangun
koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung
jawab pendidikan karakter secar bersama (Dharma Kesuma, 2012: 9)
Menurut Agus Zaenul Fitri pendidikan
karakter adalah usaha aktif untuk membentuk kebiasaan sehingga sifat anak akan
terukir sejak dini, agar dapat mengambil keputusan dengan baik dan bijak serta
mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari (Agus Zaenul, 2012: 21)
Dapat dipahami bahwa tujuan dari
pendidikan karakter adalah membentuk, menanamkan, memfasilitasi, dan
mengembangkan nilai-nilai positif pada anak sehingga menjadi pribadi yang
unggul dan bermartabat.
Sebagai pengaruh dari terlaksanaannya
pendidikan karakter dapat disimpulkan dari beberapa penelitian menurut Muchlas
Samani adalah:
a. Perbaikan iklim sekolah termasuk iklim pembelajaran
b. Para siswa dan staf menganggap sekolah sebagai tempat yang peduli, aman,
dan cocok bagi anak
c. Para siswa berperilaku lebih santun, pantas, dan proporsional
d. Tindakan yang
keliru dan tidak terpuji menurun
e. Memotivasi akademik serta skor prestasi siswa naik signifikan
f. Meningkatnya ketrampilan mereka dalam memecahkan masalah
(Muchlas Samani, 2012: 17).
Lickona sebagaimana yang dikutip oleh
Zainal Aqib menjelaskan bahwa apabila pendekatan kompeherensif diberikan kepada
pendidikan karakter, maka budaya moral yang positif akan tercipta disekolah.
Sekolah yang merupakan sebuah lingkungan yang mendukung penanaman nilai-nilai
dikelas. Hal ini dapat diwujudkan melalui keteladanan kapala sekolah, disiplin,
kepekaan, demokrasi, dan peluang untuk mengahargai kepedulian moral (Zainal
Aqib, 2012:28). Dari pernyataan tersebut dapat diambil pengertian bahwa
pendidikan karakter dapat berpengaruh terhadap penciptaan kondisi budaya
sekolah yang positif akibat dari kepala sekolah dan warga sekolah yang
mendukung akan terlaksanaannya pembentukan karakter.
Manusia pada dasarnya memiliki dua
potensi yaitu baik dan buruk. Di dalam Al-Quran surah Al-Syams dijelaskan
dengan istilah Fujur dan takwa. Keberuntungan berpihak pada orang yang
senantiasa menyucikan dirinya dan kerugian berpihak pada orang yang mengotori
dirinya, sebagaiman firman Allah dalam surah Al-Syams ayat 8 berikut ini:
ÇÑÈ$yg1uqø)s?ur$ydu‘qègéú$ygyJolù;r'sù
“Maka Dia menghilmakan kepada jiwa itu (jalan) kejahatan dan
ketakwaannya,”(Ahmad Hatta, 2011: 595)
Menurut Tafsir Al Misbah, fa
alhamaha terambil dari kata al-lahm yakni menelan sekaligus sehingga
lahir kata ilham. Memang ilham atau instuisi datang secara tiba-tiba tanpa
disertai analisa sebelumnya. Lebih lanjut Sayid Quthub menjelaskan bahwa
manusia adalah makhluk dwi dimensi dalam tabiatnya. Manusia mampu membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk, dia mampu mengarahkan dirinya menuju
kebaikan atau keburukan dalam kesadaran yang sama. Potensi tersebut terdapat
dalam diri manusia kehadiran Rasul, petunujuk-petunjuk, serta faktor ekstern
lainnya hanya berfungsi membangkitkan, mendorong, dan mengarahkan, itu semua
tidak menciptakannya karena ia telah melekat sebagi tabiat dan masuk kedalam
melalui pengilhaman Illahi (Quraish, 2003: 297).
ôzþÇ5çŸtÇÎÈû,Î#Ïÿ»y™@xÿó™r&m»tR÷ŠyŠu‘OèOÇÍÈ¢OƒÈqø)s?`|¡ômr&’Îû`»|¡SM}$#$uZø)n=y{‰s)s9
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya, kemudian Kami kembalikan
dia ke tempat yang serendah-rendahnya”,(Ahmad Hatta, 2011: 597).
Berdasarkan surat Al-Tin ayat 4-5
diatas dijelaskan sesungguhnya telah kami ciptakan manusia dalam bentuk yang
paling baik. Manusia diistimewakan dengan akalnya agar bisa berpikir dan
menimba berbagai ilmu pengetahuan serta bisa mewujudkan segala inspirasinya
yang dengannya manusia bisa berkuasa atas segala makhluk. Manusia memiliki
kekuatan dan pengaruh yang dengan keduanya bisa menjangkau segala sesuatu
(Ahmad Mustafa, 1993: 341).
Dalam teori lama yang dikembangkan oleh dunia barat, disebutkan bahwa perkembangan
seseorang hanya dipengaruhi oleh pembawaan (nativisme). Sebagai
lawannya, berkembang pula teori yang berpendapat bahwa seseorang hanya
ditentukan oleh pengaruh lingkungan (empirisme). Sebagai sinsetisisnya,
kemudian dikembangkan teori ketiga yang berpendapat bahwa perkembangan
seseorang ditentukan oleh pembawaan dan lingkungan atau konvergensi
(Agus Zaenul, 2012: 36).
Dapat difahami bahwa manusia banyak
mempunyai kecenderungan yang disebabkan oleh banyak potensi yang dibawanya.
Dalam garis besarnya, kecenderungan itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu
kecenderungan menjadi orang baik dan kecenderungan menjadi orang jahat. Oleh
sebab itu, pembentukan karakter harus dapat memfasilitasi dan mengembangkan
nilai-nilai positif agar secara alamiah dapat membentuk seseorang menjadi
pribadi yang unggul dan barakhlak mulia.
C. Tahap-Tahap
Pembentukan Karakter
Perkembangan moral atau karakter
merupakan proses dinamis yang umum dalam setiap budaya. Moral berkembang
menurut serangkaian tahap perkembengan psikologis. Perkembangan moral itu
bertahap artinya kedewasaan moral seseorang hanya dapat meningkat satu tahap
lebih tinggi diatasnya. Pembentukan karakter diyakini perlu dan penting untuk
dilakukan oleh sekolah dan warganya untuk menjadi pijakan dalam penyelenggaraan
pendidikan karakter di sekolah.
Membentuk karakter pada diri siswa
memerlukan suatu tahapan yang disusun secara sistematis dan berkelanjutan.
Siswa akan melihat dan meniru apa yang ada di sekitaranya, siswa apabila akan
melakukan sesuatu (baik atau buruk), selalu diawali dengan proses melihat,
mengamati, meniru, mengingat, menyimpan, kemudian mengeluarkannya kembali
menjadi perilaku sesuai dengan ingatan yang tersimpan di dalam otaknya. Oleh
karena itu, untuk membentuk karakter siswa harus dirancang dan diusahakan
penciptaan lingkungan kelas dan sekolah yang mendukung program pendidikan
karakter (Agus Zaenul, 2012: 58).
Karakter dibentuk melalui tahap
pengetahuan, pelaksanaan, dan kebiasaan. Dengan demikian diperlukan tiga
komponen karakter yang baik yaitu:
1.
Pengetahuan
Moral, dimensi-dimensi yang termasuk dalam pengetahuan moral adalah:
a.
Kesadaran
Moral, untuk membentuk warga negara yang bertanggungjawab harus ada upaya
membuat mereka terinformasi. Pendidikan nilai dapat melakukan tugas ini dengan
mengerjakan siswa cara memastikan fakta terlebih dahulu sebelum membuat sebuah
timbangan moral.
b.
Mengetahui
Nilai Moral, hal ini berarti memahami bagaimana menerapkannya dalam berbagai
situasi, nilai yang baik menjadi faktor penentu dalam membentuk pribadi yang
baik.
c.
Pengambilan
Prespektif, adalah kemampuan untuk mengambil sudut pandang orang lain, melihat
situasi dari sudut pandang orang lain, membayangkan bagaimana mereka akan
berfikir, berinteraksi dan merasa. Pengembilan prespektif dapat membantu siswa
untuk merasakan dunia dari sudut pandang orang lain.
d. Penalaran
moral, adalah memahami makna sebagai orang yang bermoral dan mengapa kita harus
bermoral.
e.
Membuat
Keputusan, adalah proses orang menjadi memliki putusan saat orang tersebut
menghadapi masalah atau dilema moral.
f.
Memahami diri
sendiri, yaitu sadar terhadap kekuatan dan kelemahan karakter dan mengetahui
cara untuk memperbaiki kelemahan tersebut.
2.
Perasaan Moral,
dimensi-dimensi yang termasuk dalam perasaan moral adalah:
a.
Hati Nurani,
hati nurani yang matang juga mencakup kapasitas untuk memiliki rasa bersalah
kontruksif artinya ketika hati nurani anda berkata wajib untuk mengambil sikap
tertentu maka jika tidak melakukannya anda merasa bersalah.
b.
Penghargaan
Diri, artinya orang yang mempunyai penghargaan sehat maka akan menghormati diri
sendiri, orang yang menghormati diri sendiri maka akan menghargai diri sendiri.
Dengan demikian orang yang menghargai diri sendiri kecil kemungkinan bagi
dirinya untuk merusak tubuh atau pikiran kita atau bahkan membiarkan orang lain
untuk merusaknya.
c.
Empati, adalah
kemampuan mengenali dan merasakan keadaan yang tengah dialami orang lain.
Merupakan sisi emosi dari pengambilan presprektif.
d. Mencintai
Kebaikan, merupakan bentuk karakter yang tertinggi, yaitu ketertarikan murni
yang tidak dibuat-buat pada kebaikan.
e.
Kontrol Diri,
emosi dapat menghanyutkan akal itulah mengapa kontrol diri merupakan bentuk
pekerti moral yang penting.
f.
Kerendahan
Hati, merupakan bagian dari pemahaman diri yaitu sutau bentuk keterbukaan murni
terhadap kebenaran sekaligus kehendak untuk berbuat sesuatu demi memperbaiki
kegagalan kita.
3.
Tindakan Moral,
dimensi-dimensi yang termasuk dalam tindakan moral adalah:
a.
Kompetensi,
adalah kemampuan mengubah pertimbangan dan perasaan moral kedalam tindakan
moral yang efektif.
b.
Kehendak,
adalah menjaga emosi agar tetap terkendali oleh akal. Hal ini berguna agar dapat melihat dan
memikirkan sesuatu keadaan melalui seluruh dimensi moral, untuk menahan godaan,
bertahan dari tekanan, dan melawan gelombang. Kehendak merupakan inti dari
kebenarian moral.
c.
Kebiasaan,
merupakan faktor penentu pembentuk moral. Orang yang memiliki karakter baik
bertindak sungguh-sungguh, loyal, berani, berbudi, dan adil tanpa tergoda oleh
hal-hal sebaliknya. Mereka akan melakukan hal yang benar karena kebiasaan
(Lickona, 2013: 72).
Dalam pandangan Islam, tahapan
pembentukan karakter dimulai sejak sedini mungkin, yaitu dengan tahap-tahap
pendidikan karakter yang disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak.
Tahap-tahap pembentukan karakter beserta pendidikan karakter pada anak dalam
pandangan Islam adalah sebagai berikut:
1.
Tauhid (0-2 tahun)
Nabi memerintahkan untuk mengajarkan
kalimat la ilaha illallah kepada setiap anak yang baru bisa mengucapkan
kata-kata sebanyak tujuh kali, sehingga kalimat tauhid ini menjadi
ucapan mereka yang pertama kali dikenalkannya.
2.
Adab (5-6
tahun)
Pada fase ini siswa diajarkan
nilai-nilai karakter tentang adab tentang: jujur, mengenal mana yang benar atau
salah, mengenal yang baik atau buruk, mengenal mana yang diperintah atau yang
dilarang.
3.
Tanggung jawab
(7-8 tahun)
Perintah agar anak usia tujuh tahun
dimulai menjalankan shalat menunjukan bahwa anak mulai dididik untuk
bertanggung jawab. Anak dimulai diminta untuk membina dirinya sendiri, memenuhi
kebutuhan, kewajiban diri sendiri.
4.
Peduli (9-10
tahun)
Pada fase ini anak diajarkan tentang
nilai karakter yang meliputi menghargai orang lain, menghormati orang lain,
bekerjasama, tolong menolong dan saling membantu.
5.
Kemandirian
(11-12 tahun)
Mandiri ditandai dalam kesiapan dalam
menerima resiko sebagai konsekuensi tidak menaati aturan. Anak telah mampu
menerapkan terhadap hal-hal yang menjadi perintah atau yang menjadi larangan.
6.
Bermasyarakat
(13 tahun keatas)
Anak telah siap bergaul dimasyarakat
dengan berbekal pengalaman yang dilalui sebelumnya, anak akan mampu melakukan
beradaptasi dengan masyarakat (Abdul Majid, 2012: 23).
Pada tingkatan SMK dalam
perkembangannya anak memasuki masa ramaja. Remaja merupakan masa perkembangan
sikap tergantung terhadap orangtua ke arah kemandirian. Dalam perspektif
belajar sosial menurut Albery Bandura sebagaiman yang dikutip oleh Syamsu Yusuf
berpendapat bahwa proses kognitif yang mengantarai perubahan tingkah laku
dipengaruhi oleh pengalaman yang mengarahkan untuk mentutaskan ketrampilan atau
tugas-tugas (Syamsu Yusuf, 2011:189).
D. Nilai Pembentuk
Karakter
Kemendiknas menjelaskan bahwa nilai
karakter yang dikembangkan berdasarkan nilai agama, norma sosial, hukum, etika
akademik, dan prinsip-prinsip HAM.Kemendiknas telah meluncurkan 18 nilai
karakter, 18 nilai karakter telah disesuaikan dengan kaidah-kaidah ilmu
pendidikan secara umum, sehingga lebih implementatif untuk diterapkan dalam
pendidikan secara umum, nilai 18 tersebut telah dirumuskan dalam standar
kompetensi dan indikator pencapaian disemua mata pelajaran. Nilai 18 karakter
yang sudah disusun oleh Kemendiknas meliputi:
1.
Religius, yakni
ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama yang
dianut, termasuk dalam hal ini adalah sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah
agama lain, serta hidup rukun dan berdampingan.
2.
Jujur, yakni
sikap dan perilaku yang mencerminkan kesatuan antara pengetahuan, perkataan,
dan perbuatan yang benar, mengatakan yang benar dan melakukan yang benar
sehingga menjadikan orang yang bersangkutan sebagai pribadi yang dapat
dipercaya.
3.
Toleransi,
yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan terhadap perbedaan
agama, aliran kepercayaan, suku, adat, bahasa, ras, etnis, pendapat, dan
hal-hal lain yang berbeda dengan dirinya secara sadar dan terbuka, serta dapat
hidup tenang di tengah perbedaan tersebut.
4.
Disiplin, yakni
kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala bentuk peraturan atau
tata tertib yang berlaku.
5.
Kerja keras,
yakni perilaku yang menunjukan upaya secara sungguh-sungguh dalam menyelesaikan
berbagai tugas, permasalahan, pekerjaan, dan lain-lain dengan sebaik-baiknya.
6.
Mandiri, yakni
sikap dan perilaku yang tidak tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan
berbagai tugas maupun persoalan. Namun hal ini bukan berati tidak boleh kerja
sama secara kolaboratif, melainkan tidak boleh melemparkan tugas dan tanggung
jawab kepada orang lain.
7.
Kreatif, yakni
sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi dalam berbagai segi dalam
memecahkan masalah, sehingga selalu menemukan cara-car baru, bahkan hasil-hasil
baru yang lebih baik dari sebelumnya.
8.
Demokratis,
yakni sikap dan cara berpikir yang mencerminkan persamaan hak dan kewajiban
secara adil dan merata antara dirinya dengan orang lain.
9.
Rasa ingin
tahu, yakni cara berpikir, sikap, dan perilaku yang mencerminkan penasaran dan
keingintahuan terhadap segala hal yang dilihat, didengar, dan dipelajari secara
lebih mendalam.
10.
Semangat
kebangsaan atau nasionalisme, yakni sikap dan tindakan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan pribadi atau individu dan golongan.
11.
Cinta tanah
air, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa bangga, setia, peduli, dan
penghargaan, yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekonomi, politik, dan
sebagainya, sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain yang dapat
merugikan bangsa sendiri.
12.
Mengahargai
prestasi, yakni sikap terbuka terhadap prestasi orang lain dan mengakui
kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi semangat berprestasi yang lebih
tinggi.
13.
Komunikatif,
yakni senang bersahabat atau proaktif, sikap dan tindakan terbuka terhadap
orang lain melalui komunikasi yang santun sehingga tercipta kerja sama secara
kolaboratif dengan baik.
14.
Cinta damai,
yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan suasana damai, aman, tenang, dan
nyaman atas kehadiran dirinya dalam komunitas atau masyarakat tertentu.
15.
Gemar membaca,
yakni kebiasaan dengan tanpa paksaan untuk menyediakan waktu secara khusus guna
membaca berbagai informasi
16.
Peduli
lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya menjaga dan
melestarikan lingkungan sekitar.
17.
Peduli sosial,
yakni sikap dan perbuatan yang mencerminkan kepedulian terhadap orang lain
maupun masyarakat yang membutuhkannya.
18.
Tanggung jawab,
yakni sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya,
baik yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial, masyarakat, bangsa, negara
maupun agama (Suyadi, 2013: 8).
Prinsip pembelajaran yang digunakan di
sekolah adalah mengusahakan agar siswa mengenal dan menerima nilai-nilai
karakter sebagai milik mereka, dan bertanggung jawab atas keputusan yang
diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menentukan pendidikan, dan
selanjutnya menjadikan satu nilai sesuai dengan keyakinan diri. Dengan prinsip
tersebut siswa belajar melalui proses berpikir, bersikap, dan berbuat.
Kemendiknas menjelaskan bahwa prinsip dalam pembentukan karakter adalah sebagai
berikut:
1.
Berkelanjutan,
artinya proses pengembangan nilai-nilai karakter merupakan proses yang panjang
dari awal siswa sampai selesai dari satuan pendidikan
2.
Melalui semua
mata pelajaran dan pengembangan diri. Artinya proses pengembangan nilai-nilai
karakter dilakukan melalui setiap mata pelajaran dan kegiatan ekstrakurikuler
3.
Nilai tidak
diajarkan tetapi dikembangkan. Yang perlu diperhatikan adalah aktivitas belajar
dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik
4.
Proses
pembelajaran dilakukan dengan penekanan agar siswa secara aktif dan
menyenangkan. Artinya setiap proses pembelajaran siswa dituntut untuk aktif dan
menimbulkan rasa senang. (Gunawan, 2012: 36).
E.
Metode Pembentukan Karakter
Metode adalah cara-cara untuk
menyampaikan materi pendidikan oleh guru kepada siswa, disampaikan dengan
efektif dan efisien, untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditentukan. Metode
ini berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan (Heri Gunawan, 2012:88).
Metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk
mengimplememtasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan
praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa metode pembelajaran
diantaranya: ceramah, demonstrasi, diskusi, simulasi, laboratorium, pengalaman
lapangan, brainstroming, debat, dan simposium ( Zubaedi, 2011: 188)
Menurut Superka sebagaimana yang
dikutip oleh Sutarjo menunjuk berbagai pendekatan dan metode dalam pendidikan
karakter yaitu sebagai berikut:
1.
Pendekatan dan
Metode Penanaman Nilai, adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada
penanaman nilai dalam diri siswa. Metode yang digunakan dalam proses
pembelajaran adalah: keteladanan, simulasi, bermain peran.
2.
Pendekatan dan
Metode perkembangan kognitif, disebut sebagai pendekatan kognitif karena
karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan pada aspek
perkembangannya. Metode yang digunakan adalah dengan diskusi kelompok.
3.
Pendekatan dan
Metode Argumentasi Moral, pendekatan ini memberikan penekanan pada perkembangan
kemampuan siswa untuk berfikir logis dengan cara menganalisis masalah yang
berhubungan dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan mencari alasan pembenaran
secara moral.
4.
Memoralisasi,
yaitu model pendidikan karakter secara langsung dengan mengajarkan sejumlah
nilai yang harus menjadi pegangan siswa. Metode yang digunakan dengan:
pemberian nasihat dan larangan, khotbah, pidato, dan ceramah.
5.
Bersikap
Membiarkan, adalah metode dengan cara membiarkan siswa menentukan sendiri apa
yang diinginkan, anak dibiarkan tumbuh dan berkembang secara alamiah.
6.
Menjadi Model,
yaitu guru berusaha menampilkan dirinya sebagai model atau contoh yang hidup
menurut karakter tertentu.
7.
Pendekatan dan
Metode Teknik Klarifikasi Nilai, yaitu pendekatan karakter dimana siswa dilatih untuk
menemukan, memilih, menganalisis, mengambil sikap sendiri nilai hidup yang
diperjuangkan. Metode yang digunakan adalah metode dialog, diskusi kelompok,
studi kasus atau problem solving (Sutarjo, 2013: 134).
Metode pendidikan menurut Abdurrahman
An-Nahlawi sebagaimana dikutip oleh Heri Gunawan yang dapat dijadikan
pertimbangan dalam pembentukan karakter kepada siswa adalah sebagai berikut:
1.
Metode Hiwar
Percakapan, adalah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih
melalui tanya jawab mengenai satu topik, dan dengan sengaja diarahkan kapada
satu tujuan yang dikehendaki. Metode ini mempunyai dampak yang sangat mendalam
terhadap jiwa pendengar yang mengikuti percakapan dengan seksama dengan penuh
perhatian.
2.
Metode Qishah
atau Cerita, dalam pelaksanaan pendidikan karakter disekolah, kisah sebagai
metode pendukung pelaksanaan pendidikan memiliki peranan yang sangat penting,
karena dalam kisah-kisah terdapat keteladanan atau edukasi.
3.
Metode Amtsal
atau Perumpamaan, cara penggunaan metode ini yaitu dengan ceramah atau membaca
teks.
4.
Metode Uswah
atau Keteladanan, keteladanan merupakan metode yang lebih efektif dan
efisien, karena siswa pada umumnya cenderung meniru gurunya.
5.
Metode
Pembiasaan, adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara berulang-ulang agar
sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Metode pembiasaan berintikan pengalaman
karena yang dibiasakan itu adalah sesuatu yang diamalkan.
6.
Metode ‘Ibrah
atau Mau’idah, ‘ibrah berarti suatu kondisi psikis yang menyampaikan
manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, dihadapi dengan nalar dan
menyebabkan hati mengakuinya. Mau’idah ialah naishat yang lembut yang
diterima oleh hati dengan cara menjelaskan pahala atau ancaman.
7.
Metode Targhib
dan Tarhib atau Janji dan Ancaman, Targhib adalah janji
terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat yang disertai dengan bujukan. Sedangkan Tarhib adalah ancaman karena
dosa yang dilakukan. Metode ini bertujuan agar orang mematuhi peraturan Allah
(Heri Gunawan, 2012: 88).
Paul Suparno menjelaskan model dan
metode dalam pendidikan karakter dapat dilakukan dengan:
1.
Cara
penyampaian dalam pendidikan karakter dapat dilakukan dengan beberapa model
antar lain: model sebagai mata pelajaran tersendiri, model terintegrasi dalam
semua bidang studi, model diluar pengajaran, model gabungan.
2.
Metode
Penyampaian dalam pembentukan Karakter dapat dilakukan dengan menggunakan
beberapa metode antara lain sebagai berikut:
a.
Metode
Demokrasi, dalam hal ini guru bersifat sebagai fasilitator, metode ini akan
menyebabakan anak berani menungkapkan gagasan, pendapat, maupun perasaan.
Nilai-nilainya antara lain: keterbukaan, kejujuran, penghargaan pada pendapat
orang lain, sportivitas, kerendahan hati, dan toleransi.
b.
Metode
Pencarian Bersama, metode ini menekankan pencarian bersama yang melibatkan
siswa dan guru. Pencarian bersama ini lebih menekankan diskusi atas soal-soal yang aktual dalam
masyarakat.
c.
Metode Siswa Aktif,
yaitu menekankan pada proses yang melibatkan anak sejak awal pembelajaran. Guru
memberikan pokok bahasan dan anak dalam kelompok mencari dan mengembangkan
proses selanjutnya. Mendorong untuk mempunyai kreativitas, ketelitian,
kecintaan terhadap imu pengetahuan, kerjasama, kejujuran, dan daya ingat.
d. Metode
Keteladanan, proses pembentukan karakter pada anak akan dimulai dengan melihat
orang yang akan diteladani. Guru dapat menjadi tokoh idola dan panutan bagi
anak. Dituntut adanya ketulusan, keteguhan, kekonsistenan hiduo seorang guru.
e.
Metode Live
In, metode live in memberi pengalaman kepada anak untuk mempunyai
pengalaman hidup bersama orang lain langsung dalam situasi yang berbeda sama
sekali dari kehidupan sehari-hari. Kegiatan ini terjadi secara periodik, siswa
perlu mendapat bimbingan untuk merefleksi pengalaman dengan baik secara
rasional intelektual maupun segi batin dan rohaninya.
f.
Metode
Penjernihan Nilai, latar belakang sosial, latar belakang kehidupan, dan
pengalaman dapat membawa perbedaan pemahaman dan penerapan nilai-nilai hidup.
Oleh karena itu dibutuhkan adanya penjernihan nilai dengan dialog afektif dalam
bentuk sharing ataupun diskusi yang mendalam dan intensif (Paul Suparno, 2002:
42-51).
Selanjutnya menurut Lickona sebagaimana
yang dikutip oleh Muchlas Samani, menyarankan bahwa:
“Agar pendidikan karakter berlangsung efektif, maka guru dapat mengusahakan
berbagai metode seperti: metode bercerita, menugasi siswa membaca buku
literatur, melaksanakan studi kasus, bermain peran, debat, kooperatif” (Muchlas
Samani, 2012: 147).
Dalam pendidikan karakter perspektif
Islam, Abdul Majid menawarkan metode dengan model Tadzkirah (dibaca Tadzkiroh).
Tadzkirah mempunyai makna yaitu:
1.
T: tunjukan
teladan
2.
A: arahkan atau
berikan bimbingan
3.
D: dorongan
dengan berikan motivasi
4.
Z: zakiyah yaitu
bersih dengan tanamkan hati yang tulus
5.
K: kontinuitas
yaitu pembiasaan untuk belajar, berbuat, bersikap
6.
I : ingatkan
jika berbuat kesalahan
7.
R: repitisi
atau pengulangan
8.
A: (O) yaitu
organisasikan
9.
H: hati,
sentuhlah dengan hati (Abdul Majid, 2012: 116).
Dari beberapa metode diatas penulis
menyimpulkan bahwa metode yang sering digunakan dalam pembentukan karakter
siswa adalah dengan keteladanan. Dimana seorang guru harus menjadi contoh yang
baik bagi para siswa. Proses pembentukan karakter pada siswa akan dimulai
dengan melihat orang yang akan diteladani.
F.
Usaha-Usaha Pembentukan Karakter
1.
Integrasi
Pendidikan Karakter dalam Proses Pembelajaran
Yang dimaksud dengan implementasi pendidikan karakter secara terintegrasi
kedalam proses pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi
diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian
nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses
pembelajaran yang berlangsung baik didalam kelas maupun di luar kelas pada
semua mata pelajaran (Novan Ardy, 2013: 90). Pengintegrasian tersebut dapat
dilakukan dengan:
a.
Guru
mengembangkan dan menyisipkan pendidikan karakter pada materi pelajaran yang
sesuai dengan konteks, dapat menggunakan silabus dan RPP berkarakter.
b.
Pembelajaran
berbasis kearifan lokal sebagai alternatif solusi dalam integrasi pada proses
pembelajaran. Nilai karakter kearifan lokal memiliki peran strategis dalam
pembentukan karakter dan identitas bangsa. Kearifan lokal pada dasarnya dapat
dipandang sebagai landasan bagi pembentukan jati diri.
2.
Pengembangan
Budaya Sekolah Berbasis Karakter
Budaya sekolah adalah suasana kehidupan
sekolah tempat berinteraksi peserta didik dengan sesamanya. Budaya sekolah
memiliki cakupan yang sangat luas, antara lain mencakup kegiatan ritual,
harapan, hubungan sosial-kultural, kegiatan kurikuler, kegiatan
ekstrakurikuler, maupun interaksi sosial antarkomponen. Pengembangan budaya
sekolah yang berorientasi pada pembentukan karakter dapat dilakukan dengan
adanya kegiatan: kegiatan rutin, kegiatan spontan, keteladanan, dan
pengondisian terhadap proses pembentukan karakter.(Novan Ardy, 2013: 99).
Terdapat enam unsur budaya moral positif disekolah yaitu:
a. Kepemimpinan
moral dan akademis dari kepala sekolah
b. Disiplin dalam seluruh lingkungan
sekolah yang memberi teladan, mendorong, dan menjunjung tinggi nilai di seluruh
lingkungan sekolah
c. Kesadaran
komunitas di seluruh lingkungan sekolah
d. Organisasi siswa yang melibatkan para
siswa dalam mengurus diri sendiri dan menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk
menjadikan sebagai sekolah terbaik
e. Sebuah
atsmosfer moral yang didalamnya terdapat sikap saling menghormati, keadilan, da
kerjasama yang meresap kedalam semua bentuk hubungan di sekolah
f. Menjunjung
tinggi arti penting moralitas dengan memberi waktu khusus untuk menangani
urusan moral (Lickona, 2013: 415).
3.
Usaha
Pembentukan Karakter melalui Kegiatan Ekstrakurikuler
“Kegiatan ekstrakurikuler merupakan kegiatan pendidikan yang tercangkup
dalam kurikulum yang dilaksanakan di luar mata pelajaran untuk mengembangkan
bakat, minat, kreativitas, dan karakter peserta didik di sekolah” (Novan Ardy,
2013: 110).
Lebih lanjut Novan Ardy menjelaskan
bahwa manfaat ekstrakurikuler dapat menekan angka kriminalitas dan menekan
angka pelanggaran norma, serta menambah pengalaman, teman, dan ketrampilan.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa kegiatan ekstrakurikuler mempunyai
kontribusi dalam pembentukan karakter siswa.
4.
Usaha
Pembentukan Karakter Melalui Sosialisasi dalam Organisasi
Salah satu potensi yang menjadi aset
generasi muda adalah potensi kepemimpinan. Oleh karena itu perlu direkayasa
kondisi pendidikan yang memberikan peluang berupa tugas, tantangan, persoalan,
dan situasi yang dapat mengaktualisasikan potensi kepemimpinan dan perilaku
berorganisasi siswa. Dapat dilakukan dengan memberikan penciptaan kesempatan
yang luas untuk dapat berlatih kepemimpinan dan organisasi, hal ini dianggap
penting karena akan terjadi interaksi efektif antar siswa (Deni Damayanti,
2014: 65).
5.
Usaha
Pembentukan Karakter Melalui Kreativitas Siswa
Kreativitas merupakan ranah psikologis
yang cukup kompleks dan multidimensi. Lingkungan merupakan basis pertama yang
banyak mempengaruhi terhadap kreativitas anak. Pola pendidikan yang berpengaruh
terhadap kreativitas siswa adalah dengan: tegas yaitu dalam mengarahkan dan
memberi contoh yang baik kepada siswa, demokrasi yaitu dengan cara musyawarah
dan berdiskusi, preventif dan permisif yaitu berkaitan dengan
bakat atau potensi kecerdasan anak dalam hal ini orangtua hanya mengontrol
bakat anak sehingga terbangun sikap kreativitas dalam hidup yang penuh dinamika
(Anas Salahudin, 2013: 297).
6.
Kartu Mutabaah
(Monitoring) sebagai Usaha Pembentukan Karakter
Dengan kartu Mutabaah dapat
bermanfaat untuk meningkatkan diri, memotivasi niat, untuk menanamkan
pembiasaan kepada siswa dalam memelihara, menumbuhkan keimanan. Melalui kartu
ini, minimal guru dapat memonitoring aktivitas siswa dalam kehidupan
sehari-hari dengan bantuan wali murid, teman, dan masyarakat sekitar (Abdul
Majid, 2012: 206).
7.
Pembentukan
Karakter melalui Peningkatan Budaya Baca Tulis
Membaca dan menulis adalah kegiatan yang
berhubungan dengan transfer pengetahuan, pengkhayatan kosakata sebagai pintu
masuk untuk menjelaskan dunia. Semakin siswa banyak membaca, mereka akan
mengetahui dunia kehidupan, tahu asal usul sejarah, dan itu akan membentuk
karakter mereka. Karakter individu dibentuk saat orang melakukan tindakan
membaca karena kegiatan itu memungkinkan banyak jalan untuk melihat diri
sendiri dari membayangkan dunia yang dikisahkan dalam tulisan yang dibaca
(Fatchul, 2011: 328)